Aku sudah lama tidak bertemu Rita. Sahabat mulai dari SD. Sekarang kami jadi satu tempat kerjaan. Kami menjadi pelayan rumah makan terkemuka di
"Dina...pulang bareng aku yah??" Meski aku ingin menolak tapi dia tetap saja membuntuti aku.
"Dina...sebenarnya aku nggak nyangka kalo aku bisa bertemu lagi sama kamu. Di sini...di
Aku menghentikan langkahku. Melihat wajahnya yang masih ada make up tebal itu. "Aku lebih senang kalo kita nggak pernah bertemu lagi. Kamu bukan Rita sahabatku yang dulu. Sahabatku yang dulu tidak norak dan genit seperti kamu" Dia masih tetap saja tersenyum.....
"Tapi aku tetap menganggap kamu sahabat terbaikku....dulu, sekarang, selamanya tetap sahabat..."
"Dengar...buatku itu nggak penting lagi."
"Malam ini aku ingin kamu ke kos ku. Aku ingin menceritakan sesuatu. Karena kamu adalah sahabatku. Maka kamu harus tau."
"Aku tidak mau."
"Ini permintaanku yang terakhir, Din?" Rita menarik tanganku cepat. Mau tak mau aku mengikutinya. Kosnya tidak terlalu besar, hanya cukup untuk 1 orang saja. Rita menarikku masuk.
"Duduklah"
Aku segera menarik tanganku dan duduk. Rita menuju wastafell dan mencuci mukanya. Sebentar dia memandang ke cermin dan mengambil handuk. Mengusap mukanya hingga kering. Dia berbalik memandangku. Aku tercekat. Bagaimana mungkin? Yang kulihat adalah Rita yang tidak bermakeup tebal. Wajah Rita menjadi sangat tua dan pucat. Mata Rita berkaca-kaca.
"Karena kamu adalah sahabat terbaikku, Din" Aku masih terduduk dengan kaku. Tuhan, alisnya pun ternyata putih. Astaga....Rita memegang wig yang masih terpasang di kepalanya kemudian, dia melepasnya. Tuhan, apa yang sesungguhnya terjadi? Rambut Rita tinggal beberapa helai saja, kepalanya hampir botak.
Aku mendekatinya, menyentuh wajahnya dengan tangan gemetar. Rita mulai meneteskan airmatanya. Aku menyentuh kepalanya. Tuhan, ini benar-benar kenyataan.
"Aku sakit, Din. Aku selalu kesakitan. Setiap malam aku selalu merasakan sakit yang luar biasa. Aku seperti ingin mati saja. Aku ingin mengakhiri semuanya. Tapi aku selalu ingin berjuang. Aku ingin seperti kamu. Yang sehat dan bersemangat."
"Rit.....aku..."
"Malam ini tdurlah di sini, hari ini rasanya aku begitu lelah" Aku memapah Rita ke sofa. Dia berbaring di atas pangkuanku. "Aku nggak berani memejamkan mata, Din. Aku nggak pernah minum obat dari dokter. Malam ini begitu indah ya Din?"
Aku terdiam. Air mataku tak mau berhenti menetes. Rasanya aku benar-benar ingin memeluk Rita dengan erat. Tapi melihat tubuhnya begitu rentan, aku seolah takut tubuhnya
Tuhan....aku telah bersalah kepadanya selama ini. Benarkah aku adalah sahabat yang baik untuknya? Bahkan dalam keadaan yang buruk pun aku tak bisa menerima dia apa adanya...Bahkan aku telah membencinya....Aku bahkan tak menganggapnya sebagai sahabatnya lagi....Tapi dia ternyata tidak berubah..Dia tak berubah....Rita sekarang sama dengan Rita yang dulu....
Gundukan tanah ini belum terlalu kering. Untuk ke-7 kalinya aku datang. Menaburkan bunga mawar kesukaan Rita dan membersihkan makamnya. Aku selalu ingat kata-kata terakhir Rita "Menjadi sahabat bukan hanya saat sahabat itu ada, menjadi sahabat bukan hanya saat sahabat itu baik.....karna sekali menjadi sahabat maka selamanya akan menjadi sahabat..."
Sumber : generasi minyak anggur/lh3
0 comments:
Posting Komentar