Selasa, 29 Juni 2010

Sin Kim Lai, Diskriminasi Tak Membuatnya Menyerah

Do you want to share?

Do you like this story?

Mungkin tidak banyak orang yang mengenal nama Sin Kim Lai (52). Menjadi
atlet di era 70-an yang penuh dengan diskriminasi tidak membuatnya menyerah
untuk mencintai Indonesia. Sempat menjadi tulang punggung tim nasional bola
basket di berbagai kejuaraan internasional, dengan tinggi 184 sentimeter ia
menjadi center tangguh di lapangan tengah, baik ketika menyerang maupun
bertahan.

Sayang di jaman itu diskriminasi terhadap kaum Tionghoa masih sangat kental.
Di tahun 1978, pengurusan kewarganegaraan yang bertele-tele membuanya gagal
mendapatkan paspor untuk berangkat ke kejuaraan Bola Basket Yunior Asia di
Malaysia. Setahun kemudian baru impiannya terwujud ketika ia kembali
diturunkan dalam SEA Games 1979 di Jakarta.

Basket adalah segala-galanya bagi Kim Lai. Pensiun di tahun 1983 membuatnya
beralih menjadi pelatih. Lewat tangan dinginnyalah Jawa Timur merebut medali
emas PON XIV (1996) dan medali perunggu bagi Indonesia pada SEA Games XIX di
Jakarta (1997).

Meskipun telah menjadi pemain dan pelatih di tingkat nasional, Kim Lai tetap
bermimpi untuk memiliki klub dan gedung olahraga sendiri dan mencetak atlet
dari kampung halamannya, Blitar. 13 tahun bermimpi ternyata bukanlah hal
yang sia-sia. Saat ini Kim Lai telah memiliki klub basket dan gedung
olahraga yang dinamai Pelangi. GOR berkapasitas 1.000 penonton itu berdiri
tahun 1997 berkat donasi dan tabungan yang dikumpulkannya dengan susah
payah.

Tidak hanya sekedar GOR yang dilengkapi kantin dan mess untuk lima atlet
binaannya, Kim Lai juga menyokong penuh kehidupan mereka. Hanya satu
impiannya, Kim Lai ingin agar atlet yang berasal dari keluarga ekonomi sulit
berani untuk berprestasi. Untuk mencari atlet berbakat, tak jarang Kim Lai
keluar masuk kampung.

Apa yang dilakukan oleh Kim Lai bukanlah sebuah hal yang mudah. Karena
membina klub kecil merupakan sebuah perjuangan sulit dengan investasi yang
besar. Jika seorang atlet dibiayai Rp 300.000 per bulan, itu berarti Kim Lai
harus merogoh kocek Rp 3,6 juta setahun. Padahal untuk mencetak atlet
setidaknya butuh waktu 4-5 tahun. Bayangkan saja jika ada lima atlet yang ia
biayai secara penuh.

Namun ada rasa bangga ketika dua anak binaan Klub Pelangi, Legal Mahardika
dan Bima Rizky, memperkuat tim basket profesional Bimasakti Nikko Steel
Malang meskipun perpindahan keduanya sempat bermasalah karena uang transfer
pemain yang diberikan tidak sesuai seperti yang dijanjikan.

Kim Lai berasal dari latar belakang keluarga miskin. Ia merupakan anak ke-12
dari 13 bersaudara buah pernikahan Sin Sin Sing dan Sie Gie Nio. Berasal
dari keturunan Tionghoa murni membuat ayahnya tidak boleh bekerja formal.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, ayahnya menjemur kelapa
sedangkan sang ibu menjual makanan ringan. Merupakan hal biasa bagi Kim Lai
dan saudara-saudaranya untuk melahap nasi dengan garam dan parutan kelapa
karena tak sanggup membeli lauk.

Namun pertemuan Kim Lai dengan basket membuat hidupnya terasa berarti. Tanpa
sepengetahuan ayahnya, ia berlatih basket di Klub Sahabat secara diam-diam.
Tetapi tekad Kim Lai sudah bulat. Di usia 16 tahun ia mendaftar ke klub
basket Halim Kediri yang berjarak 63 kilometer dari Blitar. Blitar-Kediri
dijalaninya setiap hari sehingga tak jarang Kim Lai sampai di rumah larut
malam karena menunggu kendaraan umum. Di puncak karier basketnya, usai SEA
Games 1979, Kim Lai pun memutuskan mundur dari basket karena olahraga yang
dicintainya itu tak mampu menopang hidupnya dan juga masa depannya.

Namun di saat putus asa itulah pertolongan datang tanpa diduga. Seorang
pembina basket memberinya modal satu kilogram emas tanpa mengharapkan
imbalan. Emas itu kemudian diuangkan dan dipakai untuk membuka toko-toko
alat olahraga bernama Toko Sport 12 di Jalan Tanjung Blitar. Toko itu dulu
hanya berukuran 6 x 6 meter. Di sanalah Kim Lai tinggal bersama dengan
istrinya yang juga mantan atlet, Oenarni Tjakrakusuma. Dari usaha yang
dimulainya dari bawah, saat ini toko itu telah berkembang dengan pesat.

Sampai saat ini Kim Lai tidak pernah mengubah nama aslinya menjadi nama
berbau Indonesia. Karena baginya nasionalisme itu bukan bicara soal nama
tapi bicara soal kerja dan karya. Bapak empat anak penyuka wayang kulit ini
pun mendorong anak-anaknya untuk mencintai Indonesia dengan cara
berprestasi. Putrinya, Ivonne Febriani Sinatra, berhasil meraih perak dalam
ASEAN School Sport Games 2009 di Thailand.

Sampai saat ini Kim Lai masih menyayangkan sistem pembinaan olahraga di
Indonesia yang sepertinya menjadi milik pengurus elit yang hanya 'menumpang
hidup' dari organisasi. Banyak pengurus olahraga yang banyak berbicara
ketimbang bekerja. Sikap vokal dan kritis terhadap kebijakan olahraga
membuat dirinya tidak disukai oleh beberapa orang. Ketika ada pengurus yang
pernah menegurnya karena kejujurannya, dengan tegas Kim Lai hanya menjawab,
"Kalaupun sikap jujur saya akhirnya membentur tembok, saya memilih untuk
membentur dan menembusnya."

Kekerasan dan keteguhan hati Kim Lai inilah yang pada akhirnya mendorong
dirinya untuk melakukan hal-hal yang nyata meskipun banyak orang yang
melupakannya. Bagi warga kota Blitar, Kim Lai adalah 'pahlawan kota' yang
senang pergi kemana-mana tanpa alas kaki.
http://www.jawaban.com/index.php/money/detail/id/83/news/100621120006/limit/
0/Sin-Kim-Lai-Diskriminasi-Tak-Membuatnya-Menyerah.html

Source : kompas


YOU MIGHT ALSO LIKE

0 comments:

Posting Komentar